Jumat, 28 September 2012

Rumah Karangsari

Posted by Unknown On 17.13 No comments
TENTANG RUMAHKU



Menjadi tempat cinta terjalin

Menjadi tempat cita ter-ikrar

Menjadi saksi sebuah perdebatan

Menjadi saksi sebuah perdamaian

Disini aku berpijak tumpu, dan berbaring lemas
Dari yang serba menjadi serbi
Dari yang titik menjadi hampar
Begitu damai, engkau rupawan
Melindungi dan memeluki, aku erat.

Dari awal terbit, sampai akhir tenggelam
Sabar menunggu dan menanti pasti…
Tiada lelah dan tak pernah dahaga
Atau bahkan marah apalagi murka
Setia dalam bentuk,pasti dalam guna
Itulah engkau, rumahku tercinta.
Rumah karangsari.


Kenyamanan, kedamaian dan ketenangan yang diinginkan oleh setiap orang ketika sebuah kosakata dijejalkan dalam pikirannya; rumah. Rumah entah itu rumah milik sendiri, atau pun rumah orang lain yang berstatus rumah kita untuk jangka waktu tertentu, senantiasa diinginkan memberi kedamaian dan ketenangan, seperti ungkapan Rasul “rumahku surgaku”. Tentu saja surga yang dimaksud ini bukanlah seperti yang dibayangkan; bahwa semua keinginan kita bisa terpenuhi disana dirumah kita, tetapi surga yang digambarkan Rasul sejatinya adalah tempat bernaung dari keletihan fisik dan jiwa, tempat dimana energi yang tersita oleh dinamika hidup menemukan muara ketenangan disana; di rumah kita. 

Rumah, selalu memiliki daya tarik dan pesona bagi empunya. Disana ujud asli kita merebah dalam kepasrahan hidup. Antara senang dan susah, antara bahagia dan sengsara bercampur laiknya gula dan kopi yang larut dalam segelas air panas, gula yang manis memberikan keseimbangan rasa pada kopi yang pahit. Begitulah sunnatullah itu terjadi, ketika kita menemukan keinginan-keinginan kita bertabrakan dengan realitas yang terjadi akan ada hati yang gundah, akan ada hati yang gelisah. Namun kegundahan dan kegelisahan itu di suatu waktu akan mendewasakan kehidupan kita, akan membesarkan hati kita untuk tetap mengais hikmah dari peristiwa kehidupan yang kita alami. 

Rumah adalah tempat kita kembali dari kompleksitas hidup, meski kita pun kenyataannya rumah kita pun tidak sepi dari dinamika. Tetapi disitulah letak keindahan yang hakiki, dimana kebahagiaan dan kesengsaraan tidak terdefenisikan seca fisik, karena ada orang yang tinggal di rumah yang tak seberapa luas dengan keterbatasan hidupnya tetapi memiliki kebahagiaan yang tidak akan ditukarnya dengan harta yang banyak sekalipun, namun tak jarang kita temukan orang yang hidup dengan kecukupan harta justru berdiri di simpang jalan mengemis kebahagiaan kepada mereka yang lewat dengan penuh senyuman. 

Fitrah manusia mencari kebahagiaan, namun seringkali terjebak di jalan buntu, dan menyangka kebahagiaan telah menghinggapi dirinya dengan tenggelam dalam hedonisme, memperturutkan semua keinginan yang muncul, bukannya mengarahkan semua keinginan itu sesuai keharusan. Disini letak substansi ungkapan Mario Teguh yang kontroversial itu; “wanita yang pas untuk teman, pesta, clubbing, begadang sampai pagi, chichat yang snob, merokok, kadang mabuk-tidak mungkin direncanakan jadi istri”. Karena pasangan hidup kitalah yang akan memberi warna dalam rumah kita, karena suami/istri kita lah yang akan memberi pelangi kehidupan dan menentukan rumah seperti apa yang akan kita huni kelak di keabadian masa. 

Olehnya itu jangan mencari rumah lain dikala rumah kita tidak seperti surga yang kita bayangkan, boleh jadi kondisi itu tercipta karena memang kita-sadar maupun tidak sadar-memiliki andil menciptakan kegersangan dalam rumah kita. Kembalilah kesana, ke rumah yang didalamnya sedih dan bahagia menyatu. Jika tidak menemukan surga disana boleh jadi bukan karena tidak ada, tetapi kita sendiri yang tidak melihat begitu banyak keindahan di rumah kita, ibarat semut di seberang lautan nampak sementara gajah di pelupuk mata tak nampak oleh pandangan. Hingga suatu saat kesadaran itu muncul ketika apa yang kita miliki pergi dari sisi. Keberartian betapa rumah itu menyenangkan jika diterima sebagai karunia Tuhan akan sangat terasa dalam sebuah kehilangan. 

Cerita sufistik ini mungkin bisa memberikan gambaran bagaimana meletakkan paradigma kehidupan yang kita jalani agar bisa menangkap makna surga dalam lakon hidup. Dikisahkan seorang guru yang mendatangi salah seorang muridnya yang tampak selalu murung. “mengapa engkau selalu tampak murung, Nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini?” tanya sang guru kepada muridnya. “Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah, sehingga sulit rasanya untuk tersenyum karena masalah itu datang seperti tak ada habis-habisnya” Jawab sang murid. Sang guru tersenyum dan berkata “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari, biar aku perbaiki suasana hatimu itu”. Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia kembali dengan membawa apa yang diminta gurunya. “Coba ambil segenggam garam dan masukkan ke segelas air itu, setelah itu engkau minum airnya” kata sang guru. Si murid pun melakukannya, wajahnya meringis karena minu air masin. “bagaimana rasanya?” tanya sang guru. “Masin guru dan perutku mual” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis. Sang guru tersenyum lagi melihat wajah muridnya yang meringis menahan rasa masin. “Sekarang kau ikut aku” sang guru membawa muridnya ke telaga di dekat tempat mereka. “ambil garam yang tersisa dan tebarkan ke telaga”. Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke telaga tanpa bicara. Rasa masin masih tersisa di mulutnya. Ia ingin meludahkan rasa masin itu di mulutnya, tapi tak dilakukannya, tak sopan meludah di hadapan sang guru. Demikian pikirnya. “sekarang, coba kau minum air telaga itu” kata sang guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air telaga dan meneguknya. Ketika air segar dan dingin mengalir ke kerongkongannya sang guru berkata “bagaiamana rasanya?” “segar, segar sekali” jawab si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja telaga ini berasal dari mata air disana dan airnya mengalir membentuk sungai kecil. Dan sudah pasti air telaga itu menghilangkan rasa masin yang tersisa di mulutnya. “terasakah garam yang kau tebarkan tadi?” “tidak sama sekali” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas. “Nak, segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang tidak lebih, hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah ditakar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlah tetap, tidak kurang tidak lebih. Tidak seorang pun manusia yang terbebas dari penderitaan dan masalah, walaupun ia Nabi.” si Murid terdiam mendengar “tapi Nak, rasa “masin” dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya qalbu yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas, jadikan qalbu dalam dadamu itu sebesar telaga”
 “surga” dalam rumah kita terletak pada cangkang hati, apakah ia hanya sebesar gelas atau seluas telaga yang mampu menampung masalah sekaligus mendaurnya menjadi keindahan yang menghidupkan. Itu semua tergantung masing-masing kita.
@rumahkarangsari-2012


0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube