Dari semua kota di Indonesia,
belum sampai setengahnya yang RTRW-nya
berhasil di-Perda-kan. Padahal
ini baru awal dari seluruh proses penataan
ruang yang akan diimplementasikan.
Basis pembangunan baik nasional maupun
daerah adalah penataan ruang. Hal tersebut telah menjadi arus utama
(mainstream) jauh sebelum diamanatkan kembali oleh Menteri Pekerjaan Umum pada
2006, pada saat UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang disepakati untuk disesuaikan
dengan kondisi yang telah berubah. Representasi penataan ruang sebagai basis
pembangunan kemudian diwujudkan dengan ditetapkannya UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang (UUPR). Transformasi muatan hukum bidang penataan ruang
melalui revisi UU No. 24 Tahun 1992 menjadi UU No. 26 Tahun 2007, terutama
berada pada aspek pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pada Pasal 69
UUPR terdapat ketentuan sanksi pidana yang berlaku bagi setiap Warga Negara Indonesia
tanpa kecuali. Dengan demikian, setiap orang baik yang bergerak pada sektor
pembangunan di pusat maupun di daerah, diharapkan menjadi mawas diri terhadap
berbagai bentuk perencanaan yang akan diterapkan.
Berdasarkan data dari Ditjen
Penataan Ruang, hingga bulan Maret tahun 2012, terdapat 34 dari 93 kota di
Indonesia yang telah di-Perda-kan RTRW kotanya. Materi/substansi Raperda RTRW
93 kota tersebut telah dibahas pada forum BKPRN (Badan Koordinasi Penataan
Ruang Nasional). 70 kota di antaranya telah mendapatkan persetujuan substansi dari
Menteri Pekerjaan Umum. Sementara itu, dalam UUPR Pasal 78 diamanatkan bahwa
semua Perda kabupaten/kota tentang RTRW harus disesuaikan dengan UU tersebut
paling lambat tiga tahun sejak UUPR diundangkan.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terjadi disparitas antara semangat implementasi
yang diamanatkan dalam UUPR dengan produktivitas penataan ruang di daerah. Namun
prestasi yang tidak kalah penting adalah telah dikeluarkannya beberapa
Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan
Strategis Nasional (KSN) dan Pulau sebagai amanat dari UUPR, yaitu Perpres RI
No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur); Perpres RI No. 45
Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan
(Kawasan Perkotaan Sarbagita); Perpres RI No. 55 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan
Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar (Kawasan Perkotaan
Mamminasata); Perpres RI No. 62 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Medan,
Binjai, Deli Serdang, dan Karo (Kawasan Perkotaan Mebidangro); Perpres RI no 87
Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Batam, Bintang, Karimun; Perpres RI Nomor 88
Tahun 2011 tentang RTR Pulau Sulawesi; Perpres RI No. 3 Tahun 2012 tentang RTR
Pulau Kalimantan; serta Perpres RI No. 13 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Sumatera
; serta Perpres RI No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa Bali Terlepas dari
semangat yang tersirat dalam UUPR tersebut, terdapat kondisi yang cukup mengkhawatirkan
di lapangan. Tingkat produktivitas berbagai kota dalam melaksanakan penataan
ruang masih cukup rendah. Representasi awal penataan ruang dalam lingkup kota
yang berupa tersusunnya dokumen Rencana Tata Ruang (RTRW) sebagai dasar acuan pembangunan
masih belum cukup memenuhi harapan. UUPR. Berbagai penilaian tersebut perlu dipahami, karena terdapat beragam bentuk hambatan yang terjadi dalam proses
penyusunan RTRW Kota di daerah yang memiliki karakteristik unik dan berbeda
antar satu kota dengan lainnya. Selain itu, hambatan lain yang muncul dalam
mewujudkan keterpaduan ini adalah permasalahan tata batas wilayah, permasalahan
alih fungsi lahan, dan permasalahan pemanfaatan kawasan hutan yang
mengakibatkan adanya permukiman dalam kawasan hutan yang ditetapkan berstatus
lindung. Kekhawatiran tidak perlu terjadi karena permasalahan tersebut
sebetulnya dapat diatasi. Permasalahan tata batas antar daerah yang
dilatarbelakangi kekhawatiran berkurangnya PAD (mungkin) akibat pengurangan
luas daerah dapat diantisipasi dengan adanya mekanisme pemberian insentif antar
daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 UUPR. Permasalahan alih fungsi
lahan yang terjadi pada kawasan budidaya dapat diterima selama tidak melampaui
daya dukung dan daya tampung kawasan tersebut dengan landasan kajian AMDAL
maupun KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Permasalahan penggunaan
kawasan hutan untuk kegiatan budidaya dapat diselesaikan dengan mekanisme
sesuai PP No. 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan melalui kegiatan pinjam pakai
hingga pelepasan kawasan hutan dengan berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan sektor kehutanan. Pembedahan permasalahan produktivitas
penyelenggaraan penataan ruang perlu dilakukan secara sistematis dan bertahap. Berdasarkan
kondisi produktivitas saat ini, ada kecenderungan penilaian dari masyarakat bahwa
terjadi kelambanan proses penataan ruang di daerah.
Terdapat pula prasangka bahwa lambatnya proses penyusunan RTRW di daerah
adalah upaya untuk menghindari pertanggung jawaban pemanfaatan ruang terkait
sanksi yang telah terakomodasi dalam Berbagai hambatan yang terjadi bukanlah
suatu bentuk kesengajaan, namun merupakan suatu proses yang dapat dikatakan
wajar terjadi mengingat adanya proses transformasi muatan substansi
penyelenggaraan penataan ruang dari UU No. 24 Tahun 1992 ke UU No. 26 Tahun
2007. Semangat implementasi yang merupakan salah satu bagian dari transformasi
ini memerlukan suatu prasyarat mutlak seperti apa yang tercantum pada Pasal 2
UUPR yaitu asas keterpaduan.
Proses perwujudan keterpaduan berlandaskan sinkronisasi antarsektor dalam
rangka implementasi pembangunan di lapangan belum bisa dilaksanakan secara penuh
oleh berbagai pihak yang harus berpadu dalam pembangunan. Komitmen pemerintah
kota dalam implementasi RTRW Kota merupakan sebuah awalan bagi perwujudan
pembangunan yang terpadu di berbagai daerah. Dalam setiap kesempatan pembahasan
RTRW Kabupaten/Kota di Pusat, tercatat selalu dihadiri oleh pimpinan daerah
setingkat bupati/walikota atau setidaknya kepala dinas/badan di daerah. Tingkat
kekerapan kehadiran pimpinan daerah yang cukup tinggi dalam forum pembahasan
RTRW ini menunjukkan political will dan pemahaman di daerah yang sudah
baik terhadap implementasi penataan ruang. Komitmen politik pemerintah daerah
akan memberikan jaminan yang lebih baik terhadap penerapan pembangunan yang
berjalan sesuai rencana tata ruang yang telah menjadi kesepakatan bersama. Tantangan
selanjutnya dalam implementasi penataan ruang adalah perwujudan pembangunan
yang harmonis.
Dalam mendukung perwujudan keterpaduan dalam proses pembangunan
telah diinisiasi pula perumusan dokumen pemadu pembangunan lintas sektor
khususnya bidang infrastruktur yaitu Rencana Terpadu Program Investasi Infrastruktur
Jangka Menengah (RPI2JM). Instrumen ini pada dasarnya memandu terlaksananya
pembangunan lintas sektor untuk dilakukan dalam suatu tahapan yang sama dan sistematis,
saling mengisi antara sektor yang satu dengan lainnya sehingga terbangun suatu
sistem infrastruktur dan turunannya yang berkesinambungan dan tidak terputus secara
wilayah maupun secara sektoral.
Tantangan yang dihadapi oleh setiap pemangku
kepentingan dalam penataan ruang adalah akuntabilitas perwujudan pencapaian
tujuan penataan ruang atau implementasi dari rencana tata ruang. Kualitas ruang
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan merupakan suatu kondisi obyektif
yang hendak dicapai oleh keseluruhan proses penataan ruang. Keefektifan proses
penataan ruang hendaknya diukur dari seberapa jauh kondisi aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan dalam suatu kota dapat diwujudkan, dan bukan
semata-mata dari terbentuknya struktur dan pola ruang. Keefektifan berbagai
proses dalam penataan ruang sebagai upaya mewujudkan tujuan perlu diukur untuk
dapat melakukan evaluasi secara tepat pada berbagai rencana, program, dan
kebijakan pembangunan yang termuat di dalamnya. Pengukuran keefektifan penataan
ruang ini merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan sebagai pemenuhan aspek
akuntabilitas publik demi memenuhi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik
(good governance). Perwujudan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
selayaknya terpenuhi menurut ukuran yang dapat diterima oleh semua pemangku
kepentingan demi menjamin obyektifitas dari keefektifan pelaksanaan penataan ruang.
Terwujudnya transparansi dan akuntabilitas penataan ruang di tingkat masyarakat
umum akan membantu implementasi proses pengendalian dan pengawasan penataan
ruang di lapangan.
Kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap implementasi pembangunan dan
pemanfaatan ruang di daerah akan menggerakkan seluruh pemangku kepentingan baik
pemerintah, swasta, maupun masyarakat sendiri untuk taat pada rencana tata
ruang yang telah menjadi kesepakatan bersama. Proses ini terjadi karena
pengawasan penataan ruang dilakukan secara langsung oleh masyarakat dalam pemanfaatan
ruang. Dalam proses penyelesaian penyusunan rencana tata ruang di daerah
(khususnya di tingkat kabupaten dan kota), sering ditemui adanya
kekurangpahaman akan pentingnya rencana tata ruang. Pada beberapa daerah dimana
pimpinannya masih belum memprioritaskan penyusunan rencana tata ruang, yang
terlihat dari masih adanya pemerintah daerah yang belum memiliki konsep yang
jelas untuk rencana tata ruang kabupaten atau kotanya, maka diperlukan usaha yang
lebih intensif untuk memberikan pemahaman akan pentingnya rencana tata ruang. Hal
yang lebih penting dan perlu mendapat perhatian adalah bahwa proses perwujudan
ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan tidak berhenti pada saat rencana
tata ruang sudah dimiliki oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang sejak
awal sudah menyadari pentingnya rencana tata ruang sebagai acuan pelaksanaan
pembangunan dalam mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan kehidupan
tentu akan mengawal pelaksanaan pembangunan dengan sebaik-baiknya. Pengawasan
penataan ruang yang dilakukan terhadap kinerja pengaturan penataan ruang,
kinerja pembinaan penataan ruang, kinerja fungsi dan manfaat penyelenggaraan
penataan ruang, dan kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi serta pelaporan yang secara
periodik dilakukan.
Pengamatan dan pemeriksaan perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian
antara penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Perwujudan ruang yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan merupakan sebuah kebutuhan semua pemangku kepentingan. Sudah
selayaknya, upaya menuju perwujudannya yang direpresentasikan dalam
implementasi berbagai proses penataan ruang, dapat didukung semua pihak sebagai
perwujudan kebutuhan bersama. Perwujudan penataan ruang yang dapat memenuhi
tujuan perlu dilakukan secara terpadu oleh setiap pemangku kepentingan dalam
ruang. Perwujudan itu hanya dapat dilakukan dengan mendorong terbangunnya
paradigma konstruktif antarsektor dan antarwilayah terkait penataan ruang.
Hanya melalui paradigma baru yang positif dan konstruktif dalam penataan ruang,
baru kemudian akan dicapai kemanfaatan penataan ruang untuk semua. Dengan
demikian, proses penataan ruang akan terus bergulir seiring dengan makin
meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat yang akan terus berkembang.
---------------------------------------------------------
rumahkarangsari@gmail.com
rumahkarangsari.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar