Selasa, 04 Desember 2012


Pengaruh Tata Ruang Terhadap Perubahan Iklim
(TATA RUANG DAN PERUBAHAN IKLIM)
Oleh : Dra. Masnellyarti Hilman, MSc
Deputi III MENLH Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan-KLH
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PENDAHULUAN
Pengaruh Tata Ruang Terhadap Perubahan IklimHasil kajian IPCC (2007) menunjukan bahwa 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam waktu kurun 12 tahun terakhir. Hasil kajian ini ditunjukan dengan adanya data bahwa kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai dengan tahun 2001-2005 adalah 0,760 Celcius dan kenaikan muka air laut rata-rata 1,8 mm per-tahun dalam rentang waktu antara tahun 1061 sampai tahun 2003. Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada abad ke 20 diperkirakan 0,17 m. Perubahan iklim tersebut, menurut IPCC disebabkan karena ulah manusia, dimana dalam aktifitasnya manusia melakukan pembakaran yang menghasilkan gas rumah kaca dan pembukaan lahan yang terus dilakukan baik karena jumlah penduduk yang terus meningkat namun juga dikarenakan aktifitas pembangunan lainnya.
Dalam konvensi PBB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC), digolongkan 6 jenis gas sebagai gas rumah kaca yaitu karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflourida (SFe), perfluorokarbon (PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs). Lebih dari 75% komposisi gas rumah kaca di atmosfer adalah CO2 (karbondioksida).
Kenaikan temperatur di dunia akan mengakibatkan terjadinya kenaikan penguapan air, dimana menurut laporan IPCC total penguapan air meningkat secara global di perairan laut sebasar lebih kurang 0,3% per dekade sejak tahun 1998 sampai tahun 2004. Penguapan yang meningkat akan menyebabkan meningkatnya kelembaban yang membentuk hujan. Selain itu, berdasarkan hasil observasi satelit, meningkatnya aktifitas cyclone di Atlantik Utara sejak tahun 1970 memiliki korelasi dengan kenaikan temperatur pada permukaan laut.
Berdasarkan data IPCC, juga terjadi kenaikan lamanya waktu kekeringan dan semakin luasnya kawasan yang terkena kekeringan, khususnya di daerah tropis dan sub-tropis sejak tahun 1970.

Dampak Perubahan Iklim
Dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim telah menimbulkan berbagai masalah terhadap lingkungan yang akhirnya berpengaruh terhadap sosial dan ekonomi masyarakat.
Indonesia memiliki karakteristik geografis dan geologis yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, yaitu sebagai negara kepulauan (memiliki 17.500 pulau kecil), memiliki garis pantai yang panjang (81.000 km), memiliki daerah pantai yang luas dan besarnya populasi penduduk yang tinggal di daerah pesisir, memiliki hutan yang luas namun sekaligus menghadapi ancaman kerusakan hutan, rentan terhadap bencana alam dan cuaca ekstrim, memiliki tingkat pencemaran yang tinggi di daerah urban, memiliki ekosistem yang rapuh seperti area pegununan dan lahan gambut, melakukan kegiatan ekonomi yang sangat tergantung pada bahan bakar fosil dan produk hutan, serta memiliki kesulitan untuk alih bahan bakar ke bahan bakar alternatif.
Model global perubahan iklim memperkirakan seluruh wilayah Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur. Sebagai contoh, Jakarta mengalami laju perubahan temperatur 1,420 Celcius setiap seratus tahun untuk bulan Juli, sedangkan untuk bulan Januari 1,040 Celcius. Selanjutnya wilayah Indonesia di bagian Selatan equator seperti Jawa dan Bali, awal musim hujan rata-rata diperkirakan akan mundur dan intensitas musim hujan cenderung meningkat. Untuk wilayah Indonesia bagian Utara equator, pola perubahan hujan cenderung sebaliknya. Demikian juga dengan kenaikan muka air laut. Dari penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi, kenaikan muka air laut di Indonesia sudah mencapai 8 mm per tahun (Bakosurtanal, 2002). Bila upaya pengurangan emisi gas rumah kaca tidak dilakukan diperkirakan kenaikan muka air laut bisa mencapai 60 cm pada tahun 2070 (ADB, 1994).
Dalam empat dekade lalu, bencana terkait iklim seperti banjir, kekeringan, badai, longsor dan kebakaran huan telah menyebabkan banyak kehilangan nyawa manusia dan penghidupan, hancurnya ekonomi dan infrastrukutur sosial, juga kerusakan lingkungan. Di banyak tempat di dunia, frekuensi dan intensitas bencana ini cenderung meningkat (Silvakumar, 2005). Banjir dan badai mengakibatkan 70% dari total bencana dan sisanya 30% diakibatkan kekeringan, longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, dan lain-lain.
Berdasarkan hasil pemantauan kekeringan pada tanaman padi selama 10 tahun terakhir (1932-2002) yang dilakukan Departemen Pertanian, diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan mencapai 220.380 ha dengan lahan puso mencapai 43.434 ha setara dengan kehilangan 190.000 ton gabah kering giling (GKG). Sedangkan lahan yang terlanda banjir seluas 158.787 ha dengan lahan puso 39.912 ha (setara dengan 174.000 ton GKG) (Boer, 2003). Menurut Departemen Pertanian, dalam periode Januari-Juli 2007, tercatat luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan adalah 268.518 ha, 17.187 ha diantaranya mengalami puso (gagal panen). Hal tersebut berimplikasi pada penurunan produksi padi hingga 91.091 ton GKG.
Di Indonesia, dalam periode 2003-2005 saja, terjadi 1.429 kejadian bencana. Sekitar 53,3% adalah bencana terkait dengan hidrometeorologi (Bappenas dan Bakornas PB, 2006). Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti oleh longsor (16%). Pemanasan global juga akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan ekstrim, yang pada gilirannya akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar (Trenberth dan Houghton, 1996; IPCC, 2007; Indonesia Country Report, 2007). Laporan United Nations Office of Coordination of Humanitarian Affairs mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana terkait dengan iklim.
Penurunan curah hujan akibat variabilitas iklim maupun perubahan musiman disertai dengan peningkatan temperatur telah menimbulkan dampak signifikan pada cadangan air. Pada tahun-tahun kejadian El Nino Southern Oscilation (ENSO), volume air di tempat penampungan air menurun cukup berarti (jauh di bawah normal), khususnya selama musim kering (Juni-September). Banyak pembangkit listrik memproduksi listrik jauh di bawah produksi normal pada tahun-tahun tersebut. Dari data 8 waduk (4 waduk kecil dan 4 waduk besar di Pulau Jawa) menunjukkan bahwa selama tahun-tahun kejadian ENSO (tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2004, dan 2006) kebanyakan pembangkit listrik yang dioperasikan di 8 waduk tersebut memproduksi listrik di bawah kapasitas normal (Indonesia Country Report, 2007).
Peningkatan temperatur air laut khususnya El Nino 1997 telah menyebabkan masalah serius pada ekosistem terumbu karang. Wetlands International (Burke et al., 2002) melaporkan bahwa El Nino pada tahun tersebut telah menghancurkan sekitar 18% ekositem terumbu karang di Asia Tenggara. Pemutihan terumbu karang (coral bleaching) telah terjadi di banyak tempat seperti bagian Timur Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu sekitar 90-95% terumbu karang yang berada di kedalaman 25 m sebagian telah mengalami pemutihan.
Variasi cuaca seperti ENSO, telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare, kolera, dan penyakit akibat vektor lainnya. World Health Organization (WHO) juga menyatakan bahwa penyebaran penyakit malaria dipicu kareana terjadinya curah hujan di atas normal dan dipengaruhi juga oleh pergantian cuaca yang kurang stabil, seperti setelah hujan lebat berganti menjadi panas terik matahari yang menyengat. Hal tersebut mendorong perkembangbiakan nyamuk dengan cepat.
Di Indonesia, peningkatan curah hujan di atas normal terjadi khususnya pada tahun-tahun La Nina. Kasus demam berdarah dengeu (DBD) juga ditemukan meningkat signifikan pada tahun-tahun tersebut. Berdasarkan data kejadian DBD di berbagai kota besar di Indonesia, laju kejadian DBD di Pulau Jawa dari tahun 1992 sampai tahun 2005 meningkat secara konsisten (Indonesia Counry Report, 2007).
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan, dalam dua tahun saja yaitu 2005-2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil di Nusantara. Sebanyak 24 pulau yang tenggelam itu, tiga pulau di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), tiga pulau di Sumatera Utara, tiga pulau di Papua, lima pulau di Kepulauan Riau, dua pulau di Sumatera Barat, satu pulau di Sulawesi Selatan, dan tujuh di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta. Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut diakibatkan oleh erosi air laut yang diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial. Selain itu, bencana tsunami Aceh 2004 juga bedampak pada tenggelamnya tiga pulau kecil stempat. Kehilangan pulau-pulau kecil ini, terutama yang berada di daerah perbatasan dengan negara lain, akan berdampak hukum yang merugikan Indonesia. Karena dengan kehilangan pulau-pulau tersebut (yang semula jadi penentu tapal batas negara Indoneia dengan negara tetangga) wilayah perairan Indonesia akan berkurang. Hal ini perlu diantisipasi mengingat kemungkinan di wilayah tersebut terdapat sumber mineral.
Keragaman ekosistem di Indonesia memberikan warna tertentu pada ciri-ciri sosial budaya masyarakatnya. Penduduk dataran tinggi dan penduduk dataran rendah memiliki ciri-ciri yang berbeda. Ciri khas tersebut sangat terkait erat dengan kekhasan geografis dan ekologis. Perubahan mendasar pada pola iklim mikro dan ketersediaan air akan mempengaruhi sistem sosial dan pola interaksi pertimbangan pokok dalam setiap kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Tata Ruang dan Perubahan Iklim
Dalam mengahdapi perubahan iklim ada 2 (dua) kebijakan besar yang harus dilakukan yaitu mitigasi yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya peningkatan gas rumah kaca di atmosfer, dan upaya mitigasi yang difokuskan pada penggunaan energi, dimana kebijakan mix energi menggunakan energi terbarukan yang semula hanay 5% sekarang menjadi 17%. Selain itu dilakukan kebijakan konservasi energi dan penggunaan teknologi ramah lingkungan seperti Carbon Capture Storage (CCS).
Upaya lain adalah dibidang LULUCF (Land Use, Land Use Change, Forestry). Seperti kita ketahui bersama, pada awalnya hutan di Indonesia kurang lebih sebesar 140 jutaan ha. Namun menurut data Departemen Kehutanan pada tahun 2007 luas hutan di Indonesia hingga 120,35 juta ha dengan komposisi; hutan produksi 48%, hutan konservasi 17%, hutan lindung 28%, dan hutan produksi konservasi 7%. Dari luasan tersebut 53,9 juta ha diantaranya terdegradasi dengan berbagai tingkatannya yang terjadi di hutan konservasi 11,4 juta ha, hutan lindung 17,9 juta ha, dan hutan produksi 24,6 juta ha. Dari kondisi hutan yang terdegradasi tersebut diperkirakan menyebabkan hilangnya potensi serapan karbon sebesar 2,1 Gt  CO2 e per tahun pada tahun 2005. Pembukaan lahan juga terus meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk yang diperlukan untuk permukiman, pertanian, perkebunan, sarana prasarana jalan, perambahan hutan, ilegal logging, kebakaran hutan, dan lain-lain.
Dalam beradaptasi dengan perubahan iklim, yang ditandai dengan temperatur yang terus meningkat, sering terjadi hujan yang curahnya selalu meningkat. Sebagai contoh banjir dan longsor di Solo terjadi disebabkan oleh anomali cuaca dan perubahn iklim, dan kerusakan lingkungan DAS Bengawan Solo dimana terjadi perubahan tutupan lahan (lihat tabel di bawah). 
Tabel. Perubahan Tutupan Lahan DAS Bengawan Solo tahun 2000-2007
Tutupan Lahan
Luas
Perubahan
Tahun 2000
(%)
Tahun 2007
(%)
(Ha)
(%)
Hutan Alam
34,910
2.04
23,888
1.39
-11,023
-31.57
Kebun Campuran
342,799
20.00
413,671
24.13
70,872
20.67
Permukiman
270,268
15.77
367,484
21.44
97,216
35.97
Rawa
3,212
0.19
3
0.00
-3,209
-99.92
Sawah
730,696
42.63
750,294
43.77
19,598
2.68
Semak/Belukar
63,095
3.68
13,897
0.81
-49,197
-77.97
Tambak/Empang
23,179
1.35
16,951
0.99
-6,228
-26.87
Tanah terbuka
15,754
0.92
70,158
4.09
54,405
345.35
Tegalan/Ladang
210,442
12.28
35,976
2.10
-174,465
-82.90
Tubuh Air
19,780
1.15
21,812
1.27
2,032
10.27
TOTAL
1,714,135
100.00
1,714,135
100.00
Data tersebut menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan DAS Bengawan Solo menyebabkan daerah resapan air menurun dangat tajam, terjadi erosi, dam sedimentasi, fluktuasi debit yang sangat tinggi, waduk-waduk daya tampungnya berkurang, teknik pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air, dan menyebabkan terjadinya erosi.
Dari upaya mitigasi LULUCF dan Adaptasi Perubahn Iklim ini sangatlan jelas bahwa penataan ruang dangat berperan unuk menjadi awal dari pembangunan di Indonesia. Dari beberapa kriteria yang ditetapkan dalam PP 47 tahun 1999 yang kemudian diperbaharui menjadi PP No. 26/2008 tentang RTRWN, telah dinyatakan beberapa syarat tentang kawasan lindung antara lain sempadan sungai, garis pantai, kemiringan lahan, kedalaman lahan gambut dan lain sebagainya. Contoh yang mengindahkan kriteria tata ruang dalam pembangunan dan pembukaan lahan adalah yang memperhatikan resiko tinggi terhadap bencana lingkungan misalnya banjir, longsor, kebakaran hutan disertai dengan anomali cuaca akibat perubahan iklim.
Dengan penjelasan tersebut diatas, maka penatan ruang yang memenuhi kriteria lingkungan dangat penting dalam upaya mitigasi maupun adaptasi.
Pada saat ini prinsip pembangunan yang berkelanjuta, dengan sebgai tonggaknya adalah pembangunan ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan yang setara, masih banyak diabaikan. Oleh karena itu, dengan UU Penataan Ruang yang baru dimana sanksi pidana juga akan diberikan untuk pelanggaran terhadap pemberi izin yang bertentangan dengan kriteria yang ditetapkan peraturan perundangan, dapat dijadikan sebgai acuan dalam pelaksanaan pembangunan dengan memperhatikan perubahan iklim.
Walaupun kriteria-kriteria lingkungan sudah di tetapkan, namun dengan bertambahnya masalah antara lain perubahan iklim maka tantangan terhadap perubahan kebijakan terhadap berbagai kegiatan yang terkait dengan penggunaan energi terbarukan, energi fossil fuel dan LULUCF sangat perlu menjadi perhatian kita bersama.
Sebagai ilustrasi misalnya, kalau dulu di Kalimantan sektor ekonominya ditunjang oleh perdagangan kayu, maka ke depannya sektor kehutanan dapat diarahkan pada environmental service seperti REDD dan CDM. Selain itu pada sektor energi, Kalimantan sangat kaya akan batu bara dan minyak, tetapi dalam jangka 25 tahun mendatang sudah akan habis. Oleh karenanya sektor sumber energi harus sudah mulai dikembangkan menjadi energi terbarukan misalnya dari limbah pertanian, biofuel, matahari, microhydro dan laut. Dan pada lahan-lahan kritis dapat digalakkan tanaman untuk biofuel.
Kalimantan sangat kaya dengan gambut. Maka pembangunan untuk pengelolaan air harus menjadi perhatian utama.  Selain itu tutupan lahan di Kalimantan, dimana kawasan yang berhutan terus menurun, maka perlu diupayakan penanaman kembali dengan melibatkan masyarakat dan upaya peningkatan income masyarakat.
Dengan ilustrasi tersebut di atas, maka dapat disusun rencana tata ruang yang berbasis pada kriteria-kriteria lingkungan yang telah disyaratkan dalam peraturan tata ruang. Walaupun kriteria-kriteria tersebut akan lebih didetailkan sesuai dengan kondisi ekosistem daerah masing-masing namun dengan kriteria lingkungan seperti yang telah ditetapkan dalam RTRWN tersebut dilaksanakan dalam penataan ruang sebenrnya, maka hal itu akan lebih baik dan dapat mencegah dampak negatif dari perubahan iklim yang sekarang sudah dirasakan oleh kita semua.
Adapun untuk adaptasi lingkungan dan tata ruang, kita dapat memprediksikan bahwa curah hujan intensitasnya akan terus meningkat, dan kenaikan muka air laut terus bertambah. Dengan informasi tersebut, penataan ruang pantai utara Jawa misalnya, harus dikembangkan dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut diatas.
Arus pengangkutan barang yang tidak hanya tertumpu pada pembuatan jalan di daerah pantai utara karena ketika banjir akan menyebabkan masalah ketahanan pangan terganngu karena pengangkutan barang tidak berjalan sebgaimana mestinya disebabkan banjir dan lain-lain.
Selain itu, penataan daerah pesisir pantai yang sangat rentan harus menyesuaikan dengan perubahan iklim, sehingga dampak yang terjadi akan berkurang.

Kesimpulan :
  1. Dalam upaya mitigasi, penataan ruang yang dijalankan yang sesuai dengan lingkungan yang tercantum RTRWN akan membantu untuk meningkatkan penyerapan CO2.
  2. Untuk mencegah dampak terjadinya banjir dan longsor, maka Penataan Ruang adalah basis kebijakan yang harus dilaksanakan secara konsisten.
  3. Mencegah terjadinya dampak kenaikan muka air laut yang menimbulkan banjir, abrasi dan intrusi air laut, maka penataan ruang pantai perlu dilakukan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dan diupayakan untuk mempertahankan kawasan hutan mangrove yang masih tersedia dan bilamana dimungkinkan dapat ditingkatkan.
  4. Adanya tumpang tindih peraturan perundangan dalam penataan ruang perlu disinkronkan oleh Gubernur dan Bupati serta Pemerintah Pusat dan menjadi acuan semua pihak dalam membuat tata ruang wilayah dan atau kota serta kawasan hutan, pesisir dan laut sehingga dampak lingkungan akibat perubahan iklim yang negatif dapat dikurangi bahkan bisa ditiadakan (Terlampir adalah Bagan/Skema tentang Keterkaitan Tata Ruang dan Perubahan Iklim).
  5. Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) telah mengembangkan Program Menuju Indonesia Hijau untuk menunjang pencegahan kerusakan lingkungan dengan mendorong ditetapkannya RTRWN.
Pengaruh Tata Ruang Terhadap Perubahan Iklim
(sumber : Tabloid Tata Ruang)
--------------------------------------------------------
Pengaruh Tata Ruang Terhadap Perubahan Iklim 
rumahkarangsari.blogspot.com/rumahkarangsari@gmail.com

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube