Selasa, 04 Desember 2012


Masihkah Kota – Kota Indonesia Butuh Mall ?
Oleh : Endra Saleh Atmawidjaja MSc, DEA
Pemerhati Masalah Pembangunan Perkotaan
Masihkah Kita Harus Memperbanyak Mall?
  
Evolusi Dari Konsep Bazaar Terbuka Hingga Konsep Indoor Mall
Konsep ’modern shopping mall’ atau banyak disingkat dengan ’mall’ yang mencirikan bangunan tertutup multilantai yang diisi oleh berbagai jenis unit retail dalam satu struktur yang kompak, sehingga para pengunjung mudah mengakses dari satu unit ke unit retail yang lain. Untuk alasan sustainability, maka sebuah mall biasanya memiliki penghuni utama yang disebut anchor stores yakni took serba-ada (department store) serta pusat jajanan/makanan (food court). Singkatnya, konsep yang digunakan adalah ’one-stop shopping’.
Konsep penyatuan tempat berjualan di satu kompleks sendiri sesungguhnya telah dipraktekkan jauh sebelumnya di Teheran, Iran (sejak abad ke-10) dan Istanbul, Turki (abad ke-15) yang disebut dengan ‘grand bazaar’. Kala itu, para pedagang membangun kios-kiosnya di plaza terbuka atau koridor jalan yang saling berdekatan. Lalu pada abad ke-18 berkembang konsep ’shopping center’ dan ’shopping arcade’ dengan bentuk kompleks retail yang terbuka (open-air retailcomplex) yang mulai menawarkan kenyamanan bagi para pengunjung. Konsep ini banyak digunakan di Australia dan Eropa (misal Galleria Vittorio Emmanuelle di Milan yang dibangun pada 1860-an).
Berbeda dengan konsep sebelumnya, maka mall sebagai kompleks retail dengan struktur tertutup pertama kali diperkenalkan di Amerika Utara pada tahun 1915-an di Minnesota. Konsep indoor mall semakin populer pasca perang dunia ke-2 (1950-an), misalnya Northgate Mall di Seattle dan Southdale Center di Minnesota. Dalam perkembangan selanjutnya konsep mall dengan struktur tertutup ini lebih diterima di negara-negara tropis seperti Singapura, Malaysia dan Indonesia.
Kota-kota Indonesia sendiri mulai mengadopsi konsep indoormall sejak akhir tahun 1970-an, seperti Ratu Plaza dan Aldiron Plaza di Jakarta, Medan Plaza di Medan, dan Tunjungan Plaza di Surabaya, dan terus berlanjut hingga kini. Pada era otonomi daerah dewasa ini, multiplikasi pembangunan mall cukup mencengangkan, dimana hampir setiap kota menengah dan besar di tanah air memiliki plaza, mall, townsquare dan sejenisnya sebagai simbol modernisme sebuah kota. Pertanyaannya, apakah pembangunan mall yang menjamur di kota-kota Indonesia merupakan fenomena yang wajar sehingga layak diteruskan? Ataukah kita punya perspektif yang berbeda dengan mengatakan bahwa sudah saatnya pembangunan mall lebih dibatasi dan beralih pada penyediaan ruang-ruang publik yang lebih ’natural’? 
Mall di Indonesia : Antara Kebutuhan Nyata Masyarakat dan Kritik Para Urbanis 
Masihkah kita harus memperbanyak mall?
Sejak awal era 1970-an, secara perlahan Indonesia mentransformasi sistem perekonomiannya menjadi neoliberalis sehingga sangat ramah terhadap investasi asing. Upaya ini tampak semakin jelas setelah dikeluarkannya berbagai kebijakan deregulasi ekonomi antara 1980 hingga pertengahan 1990-an dimana, pada masa keemasan tersebut, investor diberikan keleluasaan besar untuk menguasai lahan-lahan perkotaan dan mengalihkannya menjadi lahan-lahan industri dan real estate (khususnya mall, apartemen, dan perkantoran di kawasan Jabodetabek) (Santoso, 2007 ; Cowherd, 2005).
 Krisis moneter 1997/1998 hanya menghentikan sementara laju pertumbuhan real estate (short stagnation), termasuk didalamnya mall. Hingga kini, jumlah mall telah bertambah pesat di kota-kota yang secara tradisional merupakan tulang punggung perekonomian nasional, seperti Jakarta yang memiliki 39 mall, Bandung (28), Surabaya (16), Medan (8), Semarang (6), Manado (8), dan Denpasar (5). Namun pada era otonomi daerah, fenomena menjamurnya pembangunan mall pun menjadi trend di berbagai kawasan perkotaan ’baru’, seperti Depok (8 mall), Bekasi (9), Cimahi (2), bahkan di Jatinangor – Kab. Bandung (1). Bagi masyarakat perkotaan Indonesia, mall di satu sisi mencerminkan adanya kebutuhan nyata masyarakat perkotaan atas ruang-ruang publik (public space) untuk kegiatan rekreatif maupun kegiatan sosial, sebagai bagian dari gaya hidup modern. Akibat semakin terbatasnya ruang-ruang publik, maka mall menjadi pilihan yang logis untuk beberapa alasan seperti kenyamanan (menghindari sengatan udara tropis dan guyuran hujan), kepraktisan dan efisiensi (mengurangi pergerakan didalam kota), keamanan (memenuhi kebutuhan psikologis untuk rasa aman) serta kepastian (menghindari praktek penipuan produk sebagaimana lazim terjadi pada pasar tradisional). Tidak heran 
                        
Keberadaan banyak mall merupakan ciri-ciri dari kota yang “sakit” ,
karena sebagai ruang publik, ia tidak memenuhi tujuan
sosial dan lingkungan  

Masihkah kita harus memeprbanyak mall?
dan bupati berlombalomba untuk membangun mall, menjadikannya sebagai landmark alias simbol dari kemajuan wilayah dan keberhasilan dalam mandat elektoralnya. Keberadaan mall sebagai kompleks retail yang mendorong konsumsi masyarakat semenjak krisis ekonomi 1998 dianggap banyak membantu pertumbuhan sektor ekonomi riil.Namun demikian, disisi lain, kritik kerap dikemukakan olehpara urbanis kepada para pengambil keputusan mengenai pembangunan mall tersebut. Pertama, mall merupakan ruang publik artifi sial yang bersifat ekslusif. Keputusan  miskin yang hanya bisa menikmati mall dari luar (outdoor) saja. Kedua, para pedagang kecil sulit untuk mampu bersaingdengan pedagang menengah ke atas dalam membeli/ menyewa unit retail di dalam mall (indoor unit) seperti kios/ toko dan lain lain. Kritik ketiga adalah penyeragaman terhadap bentuk arsitektur kota-kota Indonesia, dimana mall di beberapa saat ini telah menjelma menjadi landmark kota yang baru yang benderang, sementara kawasan kota tua dibiarkan redup. Penyeragaman bentuk arsitektur kota tentunya sangat bertolakbelakang dengan keragaman budaya yang dimiliki Indonesia. Kritik terakhir berkaitan dengan pemborosan energi yang dilepaskan dari pendingin udara, penerangan gedung dan seringkali kemacetan yang ditimbulkan di sekitar mall. Keberadaan banyak mall merupakan ciri-ciri kota ”sakit”, karena sebagai ruang publik ia tidak memenuhi tujuan sosial dan lingkungan.
Logika Membangun Mall yang Berbeda
Logika membangun mall di Jakarta dan Bandung tidak sama dengan logika membangun mall di Singapura, Malaysia dan Hongkong, serta satu negara Eropa lainnya – sebagai pembanding. Secara lebih spesifi k, kita bisa membandingkan kasus Jakarta dan Bandung untuk Indonesia, serta kasus Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur dan Lyon (Perancis). (Lihat Tabel 1 berikut).
Mall-mall di Singapura, Kuala Lumpur dan Hongkong dibangun pada satu kawasan yang kompak, yang biasanya menjadi daerah tujuan wisata turis mancanegara, misalnya di sekitar Orchard Road (Singapura), di sekitar Bukit Bintang, Sungei Wang dan Ampang (Kuala Lumpur), dan di sekitar Kowloon dan Causeway Bay (Hongkong). Sebagai tujuan wisatawan asing, mall-mall di Kuala Lumpur, misalnya, memberikan kontribusi 20,8% dari total pemasukan sector pariwisata. Sementara itu, revenue yang masuk ke Singapura dari sektor pariwisata adalah USD 5,74 juta, Hong Kong adalah USD 10,3 juta dan Malaysia adalah USD 8,54 juta,
sedangkan Indonesia secara keseluruhan adalah USD 4,52 juta saja (World Economic Forum/WEF, 2007).
Berdasarkan Travel and Tourism Index yang dikeluarkan oleh WEF (2007), jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Singapura adalah 7,08 juta selama 2005, sementara Kuala Lumpur 16,4 juta, dan Hongkong 14,77 juta. Jumlah ini jauh diatas wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia (total 5,2 juta) pada tahun yang sama. Bagi Singapura, Hongkong dan Malaysia, mall-mall menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari atraksi wisata kota. Namun ada kemiripan dengan kasus Bandung dan Jakarta dimana mall merupakan instrumen investasi untuk menarik konsumsi produk-produk retail, hanya sumbernya saja yang berbeda.
Sementara itu, perspektif Lyon (Perancis) terhadap mall sama sekali berbeda dari kasus-kasus kota Asia, karena pembangunan kotanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosialis, seperti Marx, Durkheim, Bourdieu, Halbwachs, dan lain-lain. Di kota Lyon, kita praktis hanya bisa menemukan 1 (satu) buah mall, yang wujud fi siknya tidak lebih bagus dari Ratu Plaza. Padahal Lyon merupakan ibukota dari RegionRhone Alpes – salah satu region terkaya di Perancis. Mall laPart Dieu’ di kota Lyon selesai dibangun dengan susah payah pada tahun 1972 sebagai simbol ekonomi baru diluar Paris, sekaligus menandakan generasi ke-3 dari perkembangan kota Lyon pasca kekuasaan religius di Fourviere dan industrialis di Croix-Rousse.
Bagi Kota Lyon, membangun 10 mall, bahkan lebih, bukanlah hal yang terlalu sulit untuk diwujudkan. Namun, cirimall yang eksklusif dan berkembang dari pemikiran kapitalistik Amerika Utara tersebut ditolak oleh madzhab urbanisme sosialis. Lebih jauh, bahwa mall tidak sesuai dengan semboyan Republik Perancis, ”egalité” alias ’kesetaraan’ dan ”solidarité” alias ’kesetiakawanan’ yang belakangan lebih banyak digunakan dalam bahasa politik menggantikan ”fraternité” (persaudaraan). Singkatnya, ideologi sosialis mempengaruhi pengambilan keputusan pembangunan kota, termasuk penolakan terhadap ide pembangunan mall. Sementara itu, di Jakarta dan Bandung, mall dibangun untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik yang secara kuantitatif cukup signifi kan besarannya (rasio 1 : 215.000 di Jakarta dan 1 : 96.400 di Bandung, belum terhitung jumlah wisatawan lokal ke Jakarta yang berjumlah 112 juta/tahun dan ke Bandung 10 juta/tahun). Namun sesungguhnya harus dicatat bahwa kemampuan membeli (purchasingpower) masyarakat lokal maupun wisatawan domestik relative terbatas, hanya pada kelompok menengah keatas. Secara geografi s, mall dibangun di tempat-tempat yang terpisah cukup jauh satu sama lain, tidak berada dalam satu kawasan
yang kompak. 
Penutup :
Menuju Kota-Kota Indonesia yang Lebih Peka terhadap Persoalan Sosial & Lingkungan

Bagi kota-kota Indonesia, mall adalah representasi fisik dari berbagai paradoks kehidupan sosial-ekonomi, yakni: antara kaya – miskin, eksklusif – inklusif, artifi sial – natural, dan modern - tradisional. Mall, plaza, town square dan sejenisnya adalah monumen kesenjangan sosial-ekonomi, alias bentuk segregasi sosial-ekonomi yang ditentang habis-habisan oleh Jane Jacobs  sejak lama (lihat Levy, 1991). Kesenjangan tersebut barangkali tidak perlu  dipertunjukkan. Sudah waktunya para  pengambil keputusan memikirkan kembali  dampak pembangunan mall di kota-kota  Indonesia, yang tampaknya tidak sesuai  dengan prinsip ’serving thepublic interest’  sebagai fi losofi dasar urbanisme (Campbell &  Fainstein, 2003). Dengan jumlah mall yang  ada  saat ini, tampaknya sudah lebih dari  cukup. Sudah waktunya berbagai dikotomi  yang ada diakhiri, sehingga warga kota dapat  tumbuh bersama dalam ruang-ruang sosial  yang lebih inklusif (terbuka), lebih natural  (tidak  artifi sial), penuh empati (terhadap  perbedaan  kelas sosial-ekonomi) dan sesuai  dengan karakter bangsa. Pemikiran pembangunan yang mungkin jauh lebih sederhana, dimana instrument ruang terbuka hijau sebagai ruang publik yang natural serta peraturan zonasi yang pro-lingkungan (yang menjamin penyediaan jalur-jalur pedestrian, sepeda, dsb) perlu mendapatkan perhatian lebih dan mulai dilaksanakan secara konsisten. (source : Buleletin Elektronik Tata Ruang).
----------------------------------------------------------------------
Masihkah Kita Harus Memperbanyak Mall?

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube