Senin, 03 Desember 2012

Pengadilan Terhadap Pelanggaran Tata Ruang

Pengadilan Tata Ruang? woww…. secara aku baru tau tentang adanya pengadilan tata ruang yang ada di luar negeri (kalo gak salah inget: Amerika). pagi ini saat kuliah manajemen pembangunan, dosennya cerita tentang manajemen hukum dan regulasi tata ruang. ditengah-tengah kuliah sang dosen cerita kalo di amerika itu ada juga pengadilan tata ruang. tugasnya meneggakkan hukum ketata ruangan gitu deh. 

Terus saya berfikir, ” wah keren juga tuh, ada pengadilan tata ruang. mendukung banget buat ngelindungi perencanaan yang udah dibuat susah dan ‘mahal’. kalo di indonesia ada, wooowww, keren banget. “

kalo boleh saya optimis, kedepan indonesia juga punya pengadilan tata ruang, biar rencana yang udah dibuat terealisasi dengan ‘benar’. tentu terlepas dari kondisi negara saat ini yang masih mencari jati diri, indonesia dalam bidang hukum dan peraturan harus punya jati diri lah . saya meyakini indonesia mampu dan bisa untuk mewujudkannya. kan indonesia punya sarjana-sarjana hukum yang jumlahnya lumayan banyak dan pinter-pinter lagi?.

kalo beneran ada, setidaknya pengaturan ruang untuk mewujudkan perilaku manusia yang baik pun dapat terlaksana. karena tujuan dari tata mengatur dan menciptakan ruang yang sasarannya lebih ditekankan pada mengatur perilaku/aktivitas manusia. (Sumber : dewiultralight08).

Mari kita simak cerita berikut, …..

Tata Ruang, apa kabarmu ? Anda kenal ? ( apaan tuh ? ). Tapi anda tahu, kan, kalau membangun rumah tanpa IMB bisa dirobohkan. Kasus pembongkaran vila2 di Puncak, anda sering dengar beritanya di koran. Atau, aturan gedung2 di Kota Bandung tak boleh melebihi 17 lantai, demi keamanan penerbangan dari dan ke luar bandara Husein Sastranagara. Bangunan di Bali ditabukan melebihi tinggi pohon kelapa ( meski kalangan investor berupaya menggugat hukum adat itu ). Bali mempesona dengan seni tradisinya yang terjaga, bukan gedung2 pencakar langit modern seperti keseragaman di banyak tempat dunia. Be yourself, people ...

Dalam perjalanan pulang, anda lihat bedeng liar di bantaran kereta api atau sungai. Warteg di atas saluran air ( drainase ). Anda lihat ruang hijau mendadak ( berubah ) pomp bensin (SPBU). Trotoar dipenuhi PKL, sekaligus lalulintas alternatif bagi motor ngepot. Lapangan olahraga jadi kios untuk kas RT. Halaman depan rumah yang dulu taman,  resapan air, ruang masuk cahaya matahari untuk kesehatan penghuni rumah ( alias tak boleh dibangun karena dikenai aturan sempadan ) ternyata dimanfaatkan untuk kandang ayam ( yah, daging ayam memang sedang mahal ). Serangkai pemandangan biasa ini adalah contoh pelanggaran Tata Ruang. Ruang ditata agar warga mendapat manfaat maksimal dari penggunaan lahan. Kalau kita yang untung, mestinya kita peduli.

Jalan jebol, overload, karena .. karena ..

Jalan rusak berlubang, semua pun kompak protes. Tapi, adakah yang berpikir, rusaknya jalan karena ulah masyarakat  yang tidak tertib Tata Ruang ? Kondisi drainase kota buruk, karena masyarakat gemar buang sampah sembarangan. Enggan merawat lingkungan. Karena pemilik kios di atas saluran ( berikut limbah usahanya ) terus membandel ketika ditertibkan satpol PP. Karena penyelenggara jalan membuat paket perbaikan jalan terpisah dengan paket perbaikan drainase. Terjadilah tanggul saluran lebih tinggi dari jalan, karena tidak terintegrasi perencanaan dan pelaksanaannya. Jalan berubah fungsi jadi selokan raksasa. Aspal cepat melapuk, lalu rusaklah jalan. Tamat riwayatmu .. ( bagi yang tidak gesit berakrobatik menghindari lubang ).
Karena antar instansi kurang koordinasi ketika menanam instalasi di bawah jalan. Gali lubang tutup lubang, setelah ratusan milyar dana APBD digelontorkan untuk menghaluskan jalan. Karena pemerintah menangani semua pembangunan infrastruktur. Karena supir melanggar aturan tonase kendaraan saat melintasi jalan. Karena warga berbondong-bondong sepulang mudik membawa orang sekampung, meski minus ketrampilan. Ramai2 menyesaki kota. Karena investor berebut membangun mall di pusat kota yang sudah padat merayap. Karena tak berdayanya para pengambil kebijakan menghadapi manuver dan target produksi  industri otomotif. 2 juta motor tahun ini, kata mereka. Pertumbuhan kendaraan 14 % pertahun. Jalan pun menjerit ( kelebihan beban ).

Kalau saja pembangunan merata, penduduk tersebar, Jawa takkan tenggelam. Nasi sudah jadi bubur..

Tahun 2015, diprediksi Jakarta tenggelam. Jalan R.E.Martadinata, Jakarta, dini hari amblas sepanjang lebih 100 meter. Rupanya, penurunan tanah di salah satu kota terpadat di dunia ini sudah parah. Sampai 20 cm pertahun. Penyedotan air tanah yang luar biasa rakus akibat beban penduduk yang luar biasa banyak ( masih berniat megapolitan ? ). Air laut pun merembes ke daratan ( intrusi ). Air sumur jadi asin. Muncul wacana pemindahan kota ke Kalimantan.
Sisi lain kepadatan penduduk adalah kemacetan jalan yang memboroskan bahan bakar (kita masih bicara Tata Ruang, lho, terutama rencana tata ruang yang keliru atau dampak pelanggaran ). Muncul wacana pembatasan subsidi BBM untuk kendaraan tahun 2005 ke atas, atau lebih tepatnya mesin injection. Mobil lama dengan karburator masih diperbolehkan menggunakan premium/ oktan rendah/ subsidi. Mobil lama jika menggunakan pertamax, mesinnya akan terasa lebih joss ( bertenaga ). Mesin lebih awet. Mau coba campursari, premium dengan pertamax ? ( untuk mobil lama ). Boleh. Sesuaikan dengan ketebalan kantong anda. Zat aditif di pertamax, rupanya biang ketokceran mesin mobil. Coba saja. Hitung2 membantu menghemat anggaran negara.

Emangnya cuma ahli hukum yang pengacara ? Planolog, urban designer, arsitek juga bisa.

Lumpur Lapindo
Seharusnya, Tata Ruang melibatkan tenaga ahli yang jelas statusnya. Kiprahnya menentukan hajat hidup orang banyak. UU no.26 tahun 2007 tidak memuat klausul para ahli dilibatkan. Para ahli tata ruang diusulkan melakukan pekerjaan seperti pengacara yang bisa membela kliennya, mengajukan usul ke BKPRD, melakukan persidangan dengan BKPRD. Harus ada planner ( perencana ) yang bisa menjelaskan kepada masyarakat tentang banyak hal,  masalah, yang kedetailan sehari-hari mencapai skala 1 : 1000 atau 1 : 500, tapi tidak tertuang dalam RTRW. RTRW, RDTR dan zoning tidak bisa menjawab, padahal masalah harus segera diselesaikan. Pengacara biasa tidak mengerti tata ruang.

Pengadilan Tata Ruang, pengacaranya bisa dari profesi mana saja. Bayangkan BKPRD dengan metode trias politika ( ada eksekutif, legislatif dan yudikatif ). Yudikatif tidak boleh bermain di Tata Ruang. UU no 26 tahun 2007 belum dilengkapi lembaga yudikatif. BKPRD yang sudah dirombak, bisa jadi cikal bakalnya. Dengan begitu, pemerintah tidak perlu full menggunakan APBD untuk membangun infrastruktur. Pada titik ini, UU no.26 tahun 2007 perlu direvisi sekaligus disatukan dengan UU no 27 tahun 2007. Daripada, DKP bingung menerapkannya.

UU no 27 tahun 2007 memang bagus, tapi nyatanya ketika daerah berbuat seenaknya membuat aturan turunannya, kita akan mengacu ke mana ? ( jadinya seperti macan kertas ). PU juga tidak tahu. Induknya tidak jelas. Atau Tata Ruang dikeluarkan dari PU, dialihkan ke badan nasional semacam BKPRN ? ( http://www.bkprn.org/ ). Apakah persidangannya di sana ? Apakah harus seperti itu, tentunya perlu kajian lebih mendalam. (sumber : “Tata Ruang” ed.6/2010, Great People & City).
-----------------------------------------
rumahkarangsari.blogspot.com
rumahkarangsari@gmail.com

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube